Friday 25 November 2011

Si Lancang

Di sebuah negeri bernama Kampar, pada zaman dahulu kala, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang Emak dan anak laki-lakinya bernama si Lancang. Ayah si Lancang telah lama meninggal. Emak bekerja menggarap ladang orang lain, dan Lancang menggembalakan ternak milik tetangganya. Setelah cukup dewasa, si Lancang memohon izin kepada Emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang, ingin bekerja dan mengumpulkan uang. Walau sedih, Emaknya mengizinkan Lancang pergi merantau.

Setelah bertahun-tahun merantau, si Lancang menjadi seorang pedagang kaya yang mempunyai berpuluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istrinya pun cantik jelita. Suatu hari si Lancang mengajak istrinya untuk berdagang ke Andalas. Setelah perbekalan dan barang dagang siap, berangkatlah mereka, hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat ke Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. Penduduk pun berdatangan hendak melihat kapal yang megah tersebut. Banyak penduduk masih mengenali wajah si Lancang. “Wah si Lancang rupanya! Megah sekali kapalnya, sudah jadi orang kaya raya,” kata guru mengaji si Lancang. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada Emak si Lancang yang terbaring sakit di gubuknya.

Betapa senangnya Emak si Lancang mendengar kabar anaknya datang, dan bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Dengan berpakaian seadanya dan berjalan tertatih-tatih karena sakit, Emak berjalan ke pelabuhan tempat kapal si Lancang. Sesampai di pelabuhan, Emak tak sabar ingin melihat anaknya. Saat hendak naik ke kapal, anak buah si Lancang menghalanginya dan melarangnya untuk naik ke kapal. Emak telah menjelaskan bahwa dia adalah Emaknya si Lancang.

Tiba-tiba si Lancang muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku!” teriak si Lancang. Rupanya dia malu jika orang tahu bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya. “Oh… Lancang…. Anakku, ini Emak. Emak sangat merindukanmu”, rintih emak.

“Usir perempuan gila itu dari kapalku!” perintah si Lancang. Anak buah si Lancang mengusir emak dan mendorongnya sehingga terjerembab. Dengan hati sedih Emak si Lancang pulang ke gubuknya, dan menangis terus menerus. Sesampai di gubuknya, Emak mengambil lesung dan nyiru. Emak memutar-mutar lesung dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata, “Ya Tuhanku… si Lancang telah aku lahirkan dan aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhanku… tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”

tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Petir menggelegar dan menyambar kapal si Lancang serta gelombang Sungai Kampar menghantamnya. Kapal si Lancang hancur berkeping-keping.

“Emaaaak… si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak,” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang. Akhirnya si Lancang tenggelam bersama kapalnya yang megah. Barang-barang yang ada di kapal berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang sebagai barang dagangan terbang melayang-layang kemudian jatuh berlipat-lipat dan menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.

Sebuah gong terlempar jauh dan jatuh di dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris Kampar kemudian menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang terletak berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera itu muncul ke permukaan yang menjadi pertanda bagi masyarakat Kampar akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir irulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada Emaknya.

Digubah dari sumber : 
Cerita Rakyat Melayu 
Sabrur R. Soenardi 
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu 2005

No comments:

Post a Comment