Wednesday, 1 February 2012

Situs Sejarah | Candi Muara Takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto,Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggirSungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tuaCandi BungsuMahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
INFO :
parkir motor Rp 2000
parkir mobil Rp 4000
karcis masuk Rp 4.000/orang

Deskripsi situs

Candi Mahligai

Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
Gambar. Candi Mahligai, Muara Takus, Indonesia

Candi Tua

Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Gambar. Candi Tua, Muara Takus, Indonesia

Candi Bungsu

Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
Gambar. Candi Bungsu, Muara Takus, Indonesia

Candi Palangka

Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
Gambar. Candi Palangka, Muara Takus, Indonesia

2 comments:

  1. Orang suku Kampar (Kampau) berasal dari lima (5) kota utama yang merupakan penempatan utama di tepi Sungai Kampar di Kabupaten (daerah) Kampar di Riau, Sumatera iaitu:

    i. Kuok (pekan sehari: Selasa)
    ii. Salo (pekan sehari: Isnin)
    iii. Bangkinang (pekan sehari: Ahad dan Rabu)
    iv. Air Tiris (pekan sehari: Sabtu)
    v. Rumbio (pekan sehari: Khamis)

    Setiap kota terdiri daripada empat (4) suku utama iaitu:

    i. Domo Bagindo Bosau
    ii. Tok Said
    iii. Piliang
    iv. Melayu

    Setiap suku mempunyai seorang ketua. Oleh yang demikian setiap kota akan memiliki 4 orang ketua suku yang akan menghadiri pertemuan ketua-ketua suku di kota Bangkinang. Ketua suku yang mempunyai bilangan anak buah yang teramai akan dipilih sebagai ketua suku sesebuah kota. Setiap perhimpunan ketua-ketua suku di Bangkinang akan dihadiri oleh 20 orang ketua suku (4 X 5). Seorang ketua suku sesebuah kota yang mewakili anak buah yang paling ramai akan menjadi ketua suku orang Kampar.

    Pada awalnya Orang Kampar datang ke malaysia / Semenanjung Tanah Melayu melalui jalan laut Selat Melaka. Setelah itu mereka menggunakan jalan sungai dan darat. Seterusnya mereka membuat penempatan baru di kawasan sekitar sepanjang Sungai Pahang. Penempatan baru orang-orang Kampar bermula dari Pekan – Chenor – Temerloh – Jerantut. Selain itu mereka juga tersebar ke Kuantan – Mentakab – Kerdau - Kuala Krau dan Kuala Lipis.

    Orang-orang Kampar yang mendarat di pantai barat Semenanjung membuat penempatan baru di Selangor (terutamanya di Batang Kali dan Kajang), di Perak (terutamanya di Batu Gajah, Kampar dan Parit Buntar).

    Pekerjaan utama orang-orang Kampar ialah berdagang. Mereka menguasai bidang-bidang peniagaan kecil seperti perniagaan kain di pekan-pekan sehari terutamanya di daerah Pahang Selatan. Di bandar Temerloh, para peniaga orang Kampar mendiami rumah kedai di Jalan Abu Bakar (bangunan pink) dan deretan kedai yang di kenali sebagai Kedai Lintang (kerana kedudukannya melintang di hujung dua blok rumah kedai Jalan Abu Bakar. Sudirman Hj Arshad seorang penghibur Nombor 1 Malaysia pada satu masa dulu ialah seorang anak Kampar kelahiran Temerloh yang paling terkenal di Pahang. U-Wei Hj Saari, seorang pengarah filem terkenal Malaysia ialah anak Kampar kelahiran Mentakab.

    Kini anak-anak keturunan Kampar sudah tersebar di merata ceruk-rantau Malaysia dan hidup membaur dengan keturunan suku-suku yang lain. Sebahagian daripada masih mewarisi bahasa dan budaya Kampar manakala sebahagian lagi sudah terputus hubungan dengan asal usul mereka.

    Asal Usul Nama Tempat di Malaysia : kampar, perak

    Kalau kita lihat nama pekan Kampar itu sendiri mempunyai persamaan nama dengan Bandar Kampar di Sumatera, Indonesia. Ini diakui oleh para sejarahwan kita bahawa nama pekan ini adalah diambil sempena nama Kampar yang ada di Sumatera, Indonesia.

    Wujudnya perkaitan di antara kedua-dua nama ini adalah melalui perniagaan yang dijalankan oleh kedua-dua penduduk bagi dua pekan ini, perniagaan mereka yang paling utama ialah penjualan tembakau dan alat-alat tembikar sara tembaga.

    Kedatangan orang Kampar (Indonesia) yang paling ramai sekali dating ke sini ialah pada 1880-1900. Mereka datang melalui beberapa batang Sungai Kuala Dipang, Sungai Kampar, Sungai Kinta dan lain-lain lagi. Mereka menggunakan jong iaitu sebuah sampan besar yang diperbuat daripada kayu keras dan diukir menyerupai itik. Tempat persinggahan mereka adalah di tebing-tebing sungai. Maka, wujudlah beberapa buah Kampung Jeram di tebing Sungai Keboi

    ReplyDelete
  2. Banyak peristiwa budaya masyarakat Kampar masa lalu yang belum dicatat atau dipublikasikan dengan baik. Satu diantaranya adalah Batobo. Ia bahasa ocu asli yang diartikan dalam bahasa Indonesia gotong royong secara bergantian ke sawah masing masing anggotanya, mirip arisan tetapi bukan uang melainkan kerja kesawah. Kegiatan batobo saat ini sudah kelihatan mau menghilang di bumi kampar, kalaupun ada tinggal sedikit dibeberapa daerah pinggir. Itu pun sudah sulit terlihat.

    Batobo dilakukan dengan inten semasa tahun 80an kebawah. Kampar adalah daerah agraris, masyarakat yang bertanam padi disawah dan berladang padi dihutan. Semangat kekeluargaan yang tinggi dengan didasari masyarakat agamis khususnya Islam, menjadikan kegiatan batobo berjalan sukses selama sampai tahun 80an. Sejak itu ia mulai memudar dan hampir hilang dan tidak tertulis pada catatan masyarakat, sehingga anak cucu masyarakat Kampar hari ini hampir tidak mengenalnya lagi.

    Setiap kepala keluarga masa dahulu memiliki tanah garapan atau hutan garapan, bumi kampar pada tahun 80an kebawah adalah pemandangan berupa tanaman padi menghijau musim bertanam, dan padi menguning pada musim panen. Ketika itu belum ada tanaman kebun Sawit di Kampar, 75 % masyarakat memiliki sawah dan hutan untuk ladang dengan pola bakar yang disebut dengan istilah manugal padi. Orang tua masa itu dapat memberi makan keluarga tampa membeli beras, kerena setiap kelurga memiliki beras produk sendiri.

    ReplyDelete